Minggu, 18 Juli 2010



PAMEDAN Pura Mangkunegaran Solo, Sabtu (17/7) malam, kembali dipadati lautan manusia. Mereka datang berbondong menyaksikan pergelaran hari kedua Solo International Performing Art (SIPA) 2010. Sebuah pergelaran seni pertunjukan berskala internasional yang tahun ini merupakan penyelenggaraan kali kedua. Tahun pertama diselenggarakan 2009 lalu, juga di tempat yang sama.

Kesenian rakyat adalah tema yang sengaja dipilih dalam SIPA tahun ini. Dari salah satu genre seni yang ada di Nusantara, selama tiga hari pergelaran (16-18/7), semangatnya diharapkan bisa untuk membumikan Kota Solo.

Menariknya, semangat itu tidak hanya didukung dari kelompok atau komunitas seni yang ada di Tanah Air, namun juga dengan delegasi dari luar negeri yang di sana kesenian rakyat juga dikenal dengan foolk dance.
”Delegasi yang turut serta dalam SIPA tahun ini seluruhnya ada 24 peserta. Dari delegasi sebanyak itu, tujuh di antaranya berasal dari luar negeri,” ujar Ketua Panitia SIPA 2010 Dra Irawati Kusumarasri.

Pada hari kedua semalam, panggung SIPA 2010 dimeriahkan delapan delegasi. Yakni, Padepokan Kalang Kamuning dan Sanggar Fitria Jawa Barat, Teater Lungid Jawa Tengah, Oxana Chi dari Jerman, Jiu Luay dari Kutai Kalimantan, Mulix Cabrera dari Mexico, Tebe Tebe Ho Dahur dari Timor Leste, Ngurah Sudibya dari Bali, dan Malang Dance dari Jawa Timur.

”Kami berharap dari kemungkinan banyak kultur dan latar belakang delegasi, semuanya bisa disatukan menjadi semangat SIPA 2010. Inilah yang menjadi harapan besar kami agar terus bisa tumbuh dan berkembang ke depan,” ujar Irawati.

Kemeriahan

Lalu bagaimana dengan yang terjadi di panggung kemudian? Sungguh, gairah seni rakyat itu sedemikian dahsyat hingga mampu menggelorakan SIPA 2010 sebagaimana yang diharapkan.

Ribuan penonton yang hadir serasa menjadi saksi betapa apa yang selama ini dipandang sebagai hal yang tertutup (tradisi), nyatanya bisa dibuka sedemikian bebas. Bahkan, menjadi sedemikian sedap ketika distrategikan sebagai konsumsi masyarakat sekarang.

Lihat semisal ketika kelompok teater tradisional Lungid tampil dengan repertoar berjudul BOL (Ben Ora Lali). Jika menyebut teater tradisional, tentu bayangan awam akan tertuju pada seni khusus dan untuk masyarakat khusus pula. Namun dalam SIPA, pandangan itu tak selamanya benar. Bahkan, malah nyaris dipangkas habis. Sebab, ketika disajikan di panggung yang megah dan mewah, Lungid ternyata bisa sedemikian familiar bagi penonton. Padahal, tak sedikit di antara ribuan penonton yang datang dari kalangan anak muda.

Pemandangan dan kondisi yang sama juga terungkap ketika Padepokan Kalang Kamuning dan Sanggar Fitria tampil membuka pergelaran. Dengan membawakan empat repertoar tari tradisional Sunda, para senimannya mampu menggugah respons ribuan penonton. (Wisnu Kisawa, Sri Wahjoedi-37)
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/19/117183/Gairah-Seni-Rakyat-Gelora-SIPA-2010
Categories:

0 komentar:

  • Blogger news

  • Blogroll

  • MIAN. Diberdayakan oleh Blogger.