Sabtu, 24 Juli 2010


Maaf, topik bahasan seputar jateng yang lebih dikenal dengan "Joglo Semar" (Jogja-Solo-Semarang). Beberapa waktu yang lalu Gubernur Jateng, Bibit Waluyo mengeluhkan perkembangan kota Semarang yang stagnan dan jauh lebih lambat dibandingkan dengan kota Solo.

Aku, yang merasa mempunyai kedua kota tersebut (walaupun pinggiran). Mengingat Aku lahir dan tumbuh besar di Pinggiran Semarang, sementara sekarang menikah dan hidup di pinggiran kota Solo, mencoba membandingkan. Menurutku sih wajar, dan tak adil jika Gubernur mengeluhkan pada Pemda Semarang, seharusnya itu menjadi tanggungjawab Propinsi, karena perkembangan Kota Semarang sendiri tak bisa lepas dari perkembangan daerah penyangga dalam hal ini wilayah "Kedungsepur" yang meliputi kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kab. Kendal, Kota Salatiga, kab. Demak dan Kab. Grobogan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Keadaan Geografis Semarang
"Semarang kaline banjir", mungkin istilah itu sudah melekat dengan kota Semarang.
Hal ini wajar kita lihat keadaan topografi kota Semarang utara yang mungkin lebih rendah dari permukaan air laut. Dulu nenekku tinggal di daerah Kebon harjo, antara Stasiun Tawang dan Pelabuhan Tanjung emas. ga musim kemarau, ga musim hujan selalu banjir. Fiuuuhhh.... betapa membosankan. dengan keadaan seperti ini mana mungkin harga jual tanah akan naik, atau mana mungkin investor akan menanamkan modalnya? Ini seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Propinsi dan tanggung jawab Negara.

2. Infrastrutur jalan.
Pengembangan kota Semarang seolah-olah diarahkan ke Selatan dan Barat, coba kita bandingkan jalan-jalan akses masuk dab keluar kota Semarang. Kalau kita dari semarang pergi Solo-Jogja atau Jakarta mungkin kita tak akan menemui kerusakan jalan yang separah akses ke timur. Coba liat jalan dari Semarang ke Purwodadi, dari jaman bahuela sampai sekarang tetap saja bergelombang dan rusak parah. Jalan menuju pantura timur (Demak-Kudus-dst) melewati jalan kaligawe yang terendam air banjir rob dari laut sepanjang waktu.
Seharusnya ini menjadikan perhatian.

3. Mewujudkan kota semarang sebagai kota industri.
Apa yang bisa dijual dari kota Semarang? Apakah Semarang "Kota Pelajar"? Predikat itu sudah ada pada Kota Jogja. "Kota Budaya"? Solo lebih unggul dalam hal ini. Mungkin yang bisa di kembangkan sebagai Kota Industri mengingat kepadatan penduduk di daerah penyangga tak sepadat kota penyangga Solo dan Jogja. Dengan permasalahan poin 2 diatas kayaknya sulit mewujudkannya.

4. Menjual Wisata tak laku.
Baru-baru ini Semarang punya hajatan besar promosi wisata berlabel "Semarang Pesona Asia". Well, dibanding Solo dengan "Spirit of Java"-nya jelas solo lebih menjual, karena lebih originil dan lebih njowo. Apakah kurang ide, trus di mirip-miripkan dengan "Never ending Asia"-nya Jogja. Kok pake embel2 "Asia" segala.
Setahuku dari dulu tuh ya, Jogja tuh "Never ending Asia", Bandung "Paris van Java" trus semarang kan "Little Netherland"? kalau ga salah sih, harusnya bisa jual kota lama kan?
jembatan berok yang legendaris itu. Sekarang?? tak terawat? bahkan tempat mangkal bencong. Parah..


dicopy dari http://caesarbontos.multiply.com/journal/item/128/Pesona_Asia_vs_Spirit_of_Java_vs._Never_ending_Asia saya ucapkan trimakasih

0 komentar:

  • Blogger news

  • Blogroll

  • MIAN. Diberdayakan oleh Blogger.